dr. Tunggul D. Situmorang, Sp.PD-KGH, Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Ginjal dan Hipertensi. Foto: Ochi April
Bisnislife.com — Salah satu fase paling kritis yang kerap luput dari perhatian pasien hipertensi adalah morning surge—lonjakan tekanan darah tajam yang terjadi antara pukul 06.00–10.00 pagi.
Pada rentang waktu inilah risiko terjadinya serangan jantung dan strok meningkat signifikan, terutama bagi pasien dengan hipertensi derajat sedang hingga berat.
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Ginjal dan Hipertensi, dr. Tunggul D. Situmorang, Sp.PD-KGH, dalam kelas media bertajuk “The Science Behind: The Importance of 24-hour Hypertension Management” pada Kamis (20/11/2025) di Jakarta menjelaskan bahwa fenomena morning surge harus menjadi perhatian utama.
“Morning surge adalah momen paling berisiko. Lonjakan tekanan darah setelah bangun tidur dapat memicu strok atau serangan jantung, terutama pada pasien hipertensi derajat 2 dan 3. Karena itu, pasien perlu melakukan pengecekan tekanan darah secara mandiri di pagi dan malam hari, serta patuh menjalankan pengobatan agar tekanan darah terkendali selama 24 jam,” ujar dr Tunggul
‘Silent Killer’ yang Sering Terlambat Disadari
dr. Tunggul menegaskan bahwa hipertensi memiliki julukan the silent killer bukan tanpa alasan.
“Kondisi ini sering tidak bergejala, tetapi diam-diam dapat menyebabkan kerusakan pada organ vital seperti jantung, ginjal, otak, dan pembuluh darah. Banyak pasien baru sadar mengidap hipertensi setelah mengalami komplikasi serius seperti strok, kerusakan ginjal, atau serangan jantung,” jelasnya.
Indonesia sendiri masih menghadapi tantangan besar yaitu 81,1% pasien hipertensi tercatat belum mencapai tekanan darah terkendali. Faktor utamanya adalah rendahnya kepatuhan minum obat dan minimnya pemantauan tekanan darah secara mandiri.
Pola Hidup Sehat dan Terapi 24 Jam
“Hipertensi terjadi ketika tekanan darah arteri berada di atas 130/85 mmHg secara konsisten. Karena bersifat kronis, pengelolaannya membutuhkan pendekatan holistik: kombinasi antara pengobatan dan gaya hidup sehat,” kata dr Tunggul.
Oleh karena itu, sambungnya, pasien dianjurkan untuk, menjaga berat badan ideal, mengonsumsi makanan seimbang dengan banyak sayur, buah, dan protein, membatasi garam, berolahraga minimal 30 menit, 3–5 kali per minggu, menghindari alkohol dan berhenti merokok
“Kebiasaan tersebut menjadi dasar untuk menjaga tekanan darah tetap terkendali sepanjang hari, termasuk mencegah morning surge yang membahayakan,” ujarnya.
Peran Pasien dalam Pengelolaan Hipertensi
Lebih lanjut dr. Tunggul menegaskan bahwa kendali hipertensi tidak hanya bertumpu pada dokter.
“Dokter hanya dapat menilai kondisi dan menyesuaikan terapi berdasarkan data yang diberikan pasien—mulai dari catatan tekanan darah, kepatuhan obat, hingga keluhan harian. Semakin lengkap datanya, semakin tepat keputusan klinis yang dapat diambil,” katanya.
Data mandiri tersebut menjadi acuan untuk menentukan intensifikasi terapi, pergantian obat, atau modifikasi gaya hidup.
Ia juga menekankan pentingnya komunikasi aktif antara pasien dan tenaga kesehatan.
“Tidak semua obat anti hipertensi sama. Obat yang ideal harus berbasis bukti ilmiah, terjangkau, dapat ditoleransi pasien, dan terbukti bermanfaat pada populasi yang dituju,” jelasnya.
Berbagai penelitian klinis menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah sistolik sebesar 10 mmHg dapat: Mengurangi risiko strok hingga 27%, menurunkan kejadian kardiovaskular mayor hingga 20% dan mengurangi risiko gagal jantung hingga 28%
Temuan tersebut menegaskan pentingnya konsistensi minum obat, pemantauan tekanan darah, dan pengelolaan gaya hidup untuk mencegah komplikasi serius dan menjaga kualitas hidup pasien hipertensi.
