Sutarto Alimoeso, selaku Ketua Umum PERPADI (tengah dari kanan) dan Joni Bae, Executive Vice President Penjualan dan Pelayanan Pelanggan Retail PT. PLN (Persero) menandatangani Nota Kesepahaman, disaksikan oleh Peter Feilberg, Executive Director Preferred by Nature (kanan) dan Prof. Dr. Ir. Rachmat Pambudy, M.S, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dalam rangka memperkuat kolaborasi dalam modernisasi penggilingan padi berbasis listrik di International Sustainable Rice Forum (ISRF) 2025 yang diselenggarakan oleh Preferred by Nature di Jakarta (18/11/2025) Foto: Istimewa
BisnisLife.com — Indonesia sebagai salah satu negara dengan konsumsi beras tertinggi di dunia menghadapi tantangan besar dalam menjaga ketahanan pangan sekaligus menekan dampak lingkungan dari produksi padi.
Worldostats mencatat bahwa konsumsi beras Indonesia pada 2025 diperkirakan mencapai 185 kilogram per kapita per tahun. Tingginya permintaan ini menuntut hadirnya sistem produksi yang lebih efisien dan rendah emisi.
Praktik budidaya padi konvensional yang masih banyak mengandalkan sawah tergenang turut berkontribusi pada 10–12 persen emisi metana global. Kondisi ini mendorong perlunya percepatan adopsi sistem pertanian ramah lingkungan.
Dalam momentum International Sustainable Rice Forum (ISRF) 2025, berbagai pemangku kepentingan menyampaikan deklarasi komitmen multipihak untuk memperkuat transformasi menuju sistem beras berkelanjutan di sejumlah wilayah produksi utama.
Deklarasi Komitmen Daerah
Kabupaten Ngawi menjadi salah satu daerah yang paling progresif dalam mengadopsi sistem pertanian rendah emisi. Komitmen tersebut ditegaskan melalui deklarasi multipihak yang dipimpin Bupati Ngawi, H. Ony Anwar Harsono, S.T., M.H., bersama kelompok tani, penggilingan padi kecil hingga besar, pelaku usaha kuliner, perusahaan daerah, akademisi, organisasi perempuan, hingga NGO pangan berkelanjutan.

Kabupaten Madiun, Boyolali, Sragen, dan Klaten turut menyatakan dukungan serupa. Menurut Ony Anwar, transformasi pertanian di Ngawi telah berlangsung selama tiga tahun dan menunjukkan hasil signifikan.
“Input pertanian menurun sehingga lebih efisien, Nilai Tukar Petani stabil di angka 125–130, dan indeks pertanaman meningkat dari 1,88 menjadi 2,88. Hal ini mengantarkan Ngawi menjadi daerah dengan produktivitas padi tertinggi nasional selama tiga tahun berturut-turut,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa kolaborasi pusat, daerah, dan pemangku kepentingan menjadi kunci untuk mewujudkan ketahanan pangan dan kesejahteraan petani.
Dukungan sektor energi turut memperkuat transformasi ini. PLN mengumumkan penyediaan solusi listrik efisien dan rendah emisi bagi penggilingan padi, termasuk penyerahan mesin dinamo senilai Rp200 juta dalam kerangka Low Carbon Rice Project sebagai langkah awal migrasi dari mesin diesel ke listrik. PLN dan PERPADI juga menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) untuk memperkuat modernisasi penggilingan berbasis listrik.
Langkah ini mempercepat modernisasi sistem pascapanen sehingga transformasi pertanian rendah karbon berlangsung menyeluruh, mulai dari budidaya hingga hilir.
Transformasi Sebagai Agenda Strategis
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Prof. Dr. Ir. Rachmat Pambudy, M.S., menegaskan bahwa transformasi sistem beras merupakan bagian penting dalam agenda pembangunan nasional.

“Transformasi ini bukan hanya agenda pertanian, tetapi juga agenda kesehatan, iklim, ketahanan ekonomi, dan keadilan sosial. Praktik keberlanjutan yang terbukti efektif di lapangan harus terintegrasi dalam kebijakan nasional untuk memperkuat pertanian yang lebih tangguh terhadap perubahan iklim,” ujar Rachmat.
Ia menambahkan bahwa upaya ini terhubung erat dengan visi Indonesia Emas 2045, termasuk penguatan cadangan beras, revitalisasi pangan lokal, serta sistem pascapanen yang lebih efisien.
Kemajuan di Lapangan dan Tantangan Jangka Panjang
Praktik beras berkelanjutan kini telah diterapkan di lima kabupaten: Ngawi, Madiun, Boyolali, Sragen, dan Klaten. Berbagai wilayah mulai menunjukkan pengurangan penggunaan pupuk dan pestisida kimia, efisiensi air, serta peningkatan adopsi teknik budidaya rendah emisi.
Capaian ini menunjukkan perubahan paradigma bahwa keberlanjutan bukan lagi alternatif, melainkan strategi utama ketahanan pangan nasional. Namun, tantangan jangka panjang tetap besar, terutama terkait risiko krisis pangan dalam 10–15 tahun mendatang akibat perubahan iklim, degradasi sumber daya, dan stagnasi produktivitas.
Preferred by Nature, lembaga yang mendampingi implementasi Low Carbon Rice Project, menilai kolaborasi multipihak sebagai modal penting untuk mempercepat transformasi.
“Komitmen yang ditunjukkan hari ini mencerminkan keberanian berbagai pemangku kepentingan untuk mengambil langkah nyata menuju sistem beras yang lebih bertanggung jawab,” kata Direktur Eksekutif Preferred by Nature, Peter Feilberg. Ia menegaskan bahwa kolaborasi lintas sektor menjadi fondasi percepatan perubahan.
Fondasi Transformasi Sistem Pangan
Rangkaian komitmen yang terbangun dalam ISRF 2025 menegaskan bahwa Indonesia sedang bergerak menuju sistem pangan yang lebih inklusif, adaptif, dan rendah emisi. Dengan dukungan kebijakan, teknologi bersih, serta kemitraan multipihak, penerapan beras berkelanjutan dinilai siap diperluas di berbagai wilayah produksi.
Transformasi sistem beras rendah karbon menjadi langkah strategis untuk menjaga ketahanan pangan jangka panjang, meningkatkan kesejahteraan petani, serta melindungi lingkungan di tengah tekanan perubahan iklim yang semakin nyata.





